Pengalaman pertamaku untuk mencoba layanan Trans-jogja ini aku lakukan pada hari sabtu, tanggal 23 Februari 2007, mumpung tarif-nya masih seribu rupiah. Perjalananku menggunakan buswae transjogja ini aku mulai dari shelter ugm, depan Kopma UGM, timur jalan.
pertama kali menuju kesana, aku cukup terkaget-kaget juga. Tidak menyangka, untuk masuk ke shelter-nya saja diperlukan mengantri. Walaupun dengan panas-panasan dan berteduh seadanya, aku ikut mengantri bersamaan dengan yang lainnya. Selang beberapa saat, antrian pun perlahan-lahan memasuki shelter. Aku telah berada di shelter kurang lebih pukul 13.30. Didalam shelter Kopma UGM ini, walaupun sudah terdapat kipas angin, tapi dikarenakan shelter yang telah penuh sesak, sehingga rasa segarpun menjadi tidak begitu terasa.
Setelah menunggu beberapa saat, bus trayek 3A pun datang. Saat pintu dibuka, bus ini sudah lumayan penuh. Tidak semua penumpang yang ada di shelter tersebut yang dapat diangkut. Untunglah saat itu aku dapat segera naik. Didalam bus, suasana sudah cukup sesak. Tempat duduk sudah habis ditempati. Bahkan tiap-tiap gantungan untuk bergelantung pun kuperhatikan sudah terdapat tangan yang terletak disana. Entah itu satu orang bergantung pada satu gantungan atau dua gantungan sekaligus. Sembari didalam bus, aku perhatikan interior bus transjogja keluaran Hyundai tersebut. Di kaca bus, di pasang stiker bertuliskan ‘kawasan bebas pengamen dan copet’. Apakah makna dari stiker tersebut berarti pengamen dan copet bebas berada di dalam bus transjogja? tentu saja tidak, makna dari stiker itu sudah umum kita pahami sebagai kawasan bebas dari pengamen dan copet.
Mata-ku lalu kembali berkeliling mengitari interior bus lebih jauh, kudapati pula sebuah stiker petunjuk yang cukup menarik. Ternyata dalam bus transjogja juga disertakan petunjuk bagaimana cara memecahkan kaca bus sebagai jalan keluar darurat. Disamping tulisan tersebut terdapat alat pemecah-nya yang bergagang warna merah. Aku tidak tahu pasti bagaimana cara menggunakannya, tapi tentunya diharapkan alat itu dengan sekali digengam dan dijotoskan ke kaca dapat memecahkan kaca yang cukup lebar sebagai jalan keluar. Terlepas apakah alat itu mudah digunakan atau tidak, itu akan dievaluasi belakangan tentunya. Jalan darurat lain yaitu adanya sebuah pintu-darurat yang terletak di sebelah kanan badan bus. Aku tidak memperhatikan apakah juga terdapat petunjuk tentang bagaimana cara membuka pintu itu dengan cepat, karena pandangaku sebelah bawah sudah terhalang oleh badan-badan yang bergelantungan bergoyang kesana kemari.
Godaan sejuknya bus transjogja tidak bisa kurasakan. Penuhnya bus saat itu, menyebabkan AC yang ada hanya membuat udara tidak penat. Tapi sejauh mana AC ini membuat sejuk bahkan udara dingin, maaf, tapi udara dalam bus itu tidak dingin sama sekali.
Sembari menikmati badan yang bergelayutan kekanan-kekiri-kedepan-kebelakang, tidak terasa bus pun sudah mencapai shelter malioboro. Nah.. di shelter ini aku turun untuk transit berganti dengan jalur 2A. Di shelter ini walaupun kondisnya tidak terlalu penuh, tapi sorotan tajam matahari, dan suasana orang-orang yang saling berkeringat menyebabkan suasana gerah dengan cepat menghinggapi shelter ini. Tidak sedikit yang kuperhatikan para calon penumpang mengibas-ibaskan barang seadanya sambil berfantasi udara gerah akan lenyap untuk selamanya.
Dari shelter malioboro inilah serunya buswae transjogja dimulai. Pertama kali bus 2A aku lihat mendekati shelter aku sudah siap-siap untuk masuk. Petugas penjaga shelter pun telah mengumumkan kedatangan bus 2A. Sejurus kemudian, sebelum bus 2A menurunkan penumpang, sekelompok ibu-ibu sudah bersiap merangsek kedalam bus 2A hingga membuat petugas shelter pus harus berseru “Nanti dulu bu! biar yang di dalam bus turun dulu! sabar bu!”
Yah.. terpaksa mengalah juga. Tak lama kemudian bus 2A datang lagi dengan kondisi penuh. Sewaktu pintu dibuka, calon penumpang yang di shelter sudah bersiap-siap masuk. Karena bus 2A kali ini tidak menurunkan penumpang di shelter ini, maka kondekturnya pun juga tidak berani untuk menaikkan penumpang. “ngapunten.. mboten wantun.. sampun uyel-uyelan niki..” ujar kondekturnya kepada calon penumpang yang seolah tidak mau menerima kenyataan dirinya kembali tidak terangkut.
Aku hanya garuk-garuk kepala, hingga kembali bus trayek 2A datang lagi, dan lagi-lagi tidak banyak penumpang yang bisa terangkut. Padahal shelter pun makin penuh dengan calon penumpang. Aku pun garuk-garuk makin keras ketika menunggu kesempatan naik bus trayek 2A yang nggak kunjung tiba.
Setelah menunggu hingga sekitar 30 menitan, akhirnya aku dapat kesempatan juga untuk naik di bus jurusan 2A. Kondisi didalam bus tidak jauh beda dengan yang di shelter, penuh dan berdesak-desakan pula. Akupun kembali menyusuri trayek bus transjogja ini dengan berdiri, padahal trayek 2A ini merupakan trayek terjauh yang aku rencanakan untuk kunaiki. Sejenak kuamati, bus untuk trayek 2A ini memiliki banyak perbedaan dengan bus tayek 3B. Baik dari bentuk luar bus-nya yang beda, bentuk gantungan yang lebih abu-abu, hingga lokasi alat pemecah kaca dan pintu darurat.
Beberapa kali juga aku amati bus yang aku tunggangi ini ‘menolak’ penumpang yang berjubel di shelter lain dengan alasan yang cukup umum, yaitu bus sudah penuh dan tidak ada penumpang yang turun di shelter tersebut. Sampai kisaran daerah Gedongkuning, akhirnya aku dapat juga kesempatan untuk duduk, dikarenakan ada penumpang yang sudah duduk dari tadi hendak bersiap-siap untuk turun di shelter berikutnya. Bus 2A pun terus melaju hingga akhirnya aku turun di shelter cik ditiro dengan RS mata dr. Yap.
Turun dari shelter tersebut, aku memang bertujuan untuk ke Gramedia. Jangan dilihat dari jalur trayek yang aku ambil, karena rencana naik buswae transjogja itu juga sembari mencicipi layanan buswae transjogja. Sampai di di shelter cik ditiro sekitar pukul 14:30.
Sesampainya di Gramedia perasaan lapar dan haus sudah menghinggapi. Agar aku di gramedia dapat tenang, terpaksa aku harus mampir dahulu di dunkin donuts untuk sekedar melepas dahaga. Disana aku beli (maksudnya) yang murah. Donat satu, sama jus orange satu. Setelah sampai di kasir, busyet! ternyata harganya 14 Ribu! Well, ya udah, gak papa deh, daripada rasa lapar dan haus ini mengganggu. Donat dan jus pun segera kuhabiskan biar bisa segera keatas untuk membeli buku yang kucari. Sesampainya diatas, aku cari-cari 20th Century Boys volume 18. Setelah muter2 lama, doh! ternyata volume itu di Gramedia juga habis! Argh! rasanya sia-sia sudah muter dan antri lama-lama pakai buswae transjogja tapi buku yang dicari masih juga tidak ketemu.
Setelah dari Gramedia, aku kembali ke shelter tempat aku turun tadi. Rencana untuk coba keliling hingga bandara terpaksa kuurungkan, gara-gara waktu yang sudah kunjung sore.. eh.. bukan sih.. tapi karena kelaparan dan lutut yang lumayan lemas gara-gara lama berdiri. Di shelter ini suasana tidak terlalu rame, Mungkin karena shelter ini ‘jauh’ dari pemukiman dan tempat strategis. Kondisi yang lumayan santai ini, aku sempatkan juga untuk mengobrol dengan para penjaga shelter. Ada bus 1B yang datang, ternyata yang turun adalah serombongan siswa-siswi SMP yang ‘berwisata’ dengan buswae transjogja. Hmm.. pantas juga jika hari itu bus-bus dan shelter-shelter padat menyesak. Mungkin mayoritas dipenuhi oleh siswa-siswi dan orang iseng seperti ku yang ingin mencoba buswae transjogja mumpung tarif ‘soft-opening’ masih berlaku.
Ternyata mimpi buruk trayek 2A di shelter ini juga masih berlaku. Tidak banyak penumpang yang berkeinginan untuk turun di shelter cik ditiro. Berkali-kali bus 2A datang, pintu bus terbuka, menunggu sesaat tak ada penumpang yang keluar, kondektur bus hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. Akupun membalas senyum itu dengan tak kalah kecutnya. “Laper nih pak!” batinku. Apesnya lagi, walaupun shelter ini juga didatangi beberapa calon penumpang, dan kesemuanya menggunakan trayek 1B karena tujuannya yang mayoritas kearah jalan solo. Dan makin apes lagi, bus trayek 1B ini banyak kosongnya. Iri rasanya, orang yang baru saja datang, tanya-tanya soal trayek yang harus digunakan, selang sebentar bus 1B datang, dan terangkutlah mereka. Rasa iri makin meradang ketika berduyun-duyun orang datang ke shelter dan semuanya terangkut ke bus 1B hanya dalam hitungan satu kali kedatangan bus.
Aku pun iseng melihat peta trayek untuk membuang rasa iri yang nggak pada tempatnya itu. Dan ternyata.. dueng! shelter panti rapih yang ingin kutuju juga dilewati oleh trayek 1B. Waa… kecewa rasanya. Padahal bus 1B yang sepi dah lewat berkali-kali kulewatkan begitu saja. Ya sudah! lalu aku putuskan saja untuk ambil trayek 1B. Kesalahanku membaca trayek ini menjadi aku bisa memulai perbincangan santai dengan penjaga shelter itu. Haha.. guyonan satir rasanya, aku hanya tertawa sendiri dalam hati menyalahkan ketidakjelianku. Tak lama kemudian, tampak bus 1B datang. “Aku harus naik bus ini!” batinku sambil beranjak mendekati pintu shelter. Setelah bus 1B merapat, pintu terbuka, tampak ruangan lega didalam bus membuat aku buru-buru masuk. Jengah juga rasanya menunggu. Bus 1B ini sekilas mirip dengan bus 3B, mungkin ada beberapa detil yang berbeda, tapi aku tidak terlalu mengamati, saat itu pikiranku hanya satu, aku ingin pulang.
Ternyata mimpi buruk trayek 2A di shelter ini juga masih berlaku. Tidak banyak penumpang yang berkeinginan untuk turun di shelter cik ditiro. Berkali-kali bus 2A datang, pintu bus terbuka, menunggu sesaat tak ada penumpang yang keluar, kondektur bus hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. Akupun membalas senyum itu dengan tak kalah kecutnya. “Laper nih pak!” batinku. Apesnya lagi, walaupun shelter ini juga didatangi beberapa calon penumpang, dan kesemuanya menggunakan trayek 1B karena tujuannya yang mayoritas kearah jalan solo. Dan makin apes lagi, bus trayek 1B ini banyak kosongnya. Iri rasanya, orang yang baru saja datang, tanya-tanya soal trayek yang harus digunakan, selang sebentar bus 1B datang, dan terangkutlah mereka. Rasa iri makin meradang ketika berduyun-duyun orang datang ke shelter dan semuanya terangkut ke bus 1B hanya dalam hitungan satu kali kedatangan bus.
Aku pun iseng melihat peta trayek untuk membuang rasa iri yang nggak pada tempatnya itu. Dan ternyata.. dueng! shelter panti rapih yang ingin kutuju juga dilewati oleh trayek 1B. Waa… kecewa rasanya. Padahal bus 1B yang sepi dah lewat berkali-kali kulewatkan begitu saja. Ya sudah! lalu aku putuskan saja untuk ambil trayek 1B. Kesalahanku membaca trayek ini menjadi aku bisa memulai perbincangan santai dengan penjaga shelter itu. Haha.. guyonan satir rasanya, aku hanya tertawa sendiri dalam hati menyalahkan ketidakjelianku. Tak lama kemudian, tampak bus 1B datang. “Aku harus naik bus ini!” batinku sambil beranjak mendekati pintu shelter. Setelah bus 1B merapat, pintu terbuka, tampak ruangan lega didalam bus membuat aku buru-buru masuk. Jengah juga rasanya menunggu. Bus 1B ini sekilas mirip dengan bus 3B, mungkin ada beberapa detil yang berbeda, tapi aku tidak terlalu mengamati, saat itu pikiranku hanya satu, aku ingin pulang.
Sesampainya turun di shelter panti rapih, waktu sudah menunjukkan pukul 17:30. Ya, ya, memang lokasi shelter ini lumayan jauh dari pptik UGM, tapi biarlah, yang penting sudah turun, dan lumayan lebih dekat dari pada shelter cik ditiro.
Dari pengalaman pertama naik bus transjogja ini, aku amati masih terdapat ke-tidak-sesuaian (jika tidak ingin dibilang kesalahan) dalam buswae transjogja secara keseluruhan.
- Sistem RFID dari kartu berlangganan yang terlihat masih belum beres. Hal ini sepertinya pada masa ‘soft-opening’ tidak terlalu kentara. Aku mengamati hal ini pada saat ada petugas dari transjogja yang berkali-kali mendekatkan kartu ke sensor yang menjukkan seakan ada hal yang nggak beres dengan sistem countdown-nya
- Kurangnya kursi atau tempat duduk di tiap-tiap shelter. Ada beberapa shelter yang aku amati sepertinya sudah mendapat tambahan kursi.
- Sempitnya shelter. Hal ini mungkin juga makin menjadi permasalahan, jika shelter ini diisi dengan kursi. Permasalahan ukuran shelter ini makin terasa jika saat shelter dipadati calon penumpang, kemudian ada serombongan penumpang ingin turun. Urusan berjubel-jubel ini menyebabkan jatah waktu berhenti di shelter jadi membengkak besar sekali. Dampaknya, jeda waktu antar bus akan semakin lebar, atau akan membentuk antrian bus transjogja yang justru dapat mengganggu jalan.
- Pintu palang-putar banyak yang tidak berfungsi. Beberapa shelter membuat solusi dengan melepas palangnya sementara. Hal ini terjadi mungkin sistem pintu tidak kurang dipersiapkan untuk menerima daya dorong manusia yang ‘memaksa’ untuk mendorong pintu, sehingga bisa menyebabkan gear putarnya terpeleset dan tidak berputar.
- Pintu keluar yang di tutup dengan rolling door, beberapa rolling door-nya ada yang macet, sehingga perlu kekuatan ekstra untuk membukanya.
Walaupun layanan buswae transjogja yang kurasakan saat itu terasa tidak memuaskan, tapi itu jauh lebih baik daripada penundaan launching yang tak kunjung jelas kapan dimulainya. Sebuah permasalahan dan kesalahan pada awal-awal dijalankannya layanan, itu merupakan hal yang sangat wajar, jika menunggu sistemnya sempurna, mungkin malah layanan itu tak akan pernah bisa berjalan. Karena seberapa banyaknya teori dan skenario pelayanan dirancang, tentunya akan terdapat banyak perbedaan dengan pelaksanaan di kenyataannya. Yang penting dari awal-awal jalannya layanan, yaitu segeranya ditanggapi segara permasalah-kesalahan-dan-kekacauan yang timbul akibat konsep yang dibuat dan kenyataan. Jika pengelola buswae transjogja dapat segera tanggap dan mengoptimalkan layanannya dengan disesuaikan pada kenyataan yang terjadi, aku optimis transjogja ini akan menjadi layanan yang cukup menarik.
Kejadian kacau yang aku alami pada hari itu, bisa diambil nilai positifnya. Pengelola transjogja dapat belajar, bagaimana jika penumpang bus transjogja mencapai sejumlah itu. Aku yakin, pada awal launching, pengelola memang tidak mendesain layanan ‘soft-opening’-nya akan melayani sedemikian membanjirnya penumpang hingga menolak penumpang untuk naik. Dengan belajar dari kejadian pada hari itu, pengelola transjogja dapat bersiap-siap dan mempersiapkan strategi baru untuk menghadapi penumpang yang membludak.
Kuncinya adalah selalu memantau di lapangan dan segera tanggapi segala permasalahan yang terjadi.
Semoga transjogja dapat menjadi salah satu solusi transportasi umum di jogja.
Tulisan ini juga sudah ditampilkan di transjogja.net
baca juga:
http://www.mandrabros.org/2008/02/22/menjajal-buswae/
http://orangescale.net/log/200802/transjogja-unofficial-site/
http://rizkibeo.wordpress.com/2008/01/29/fakta-dan-klarifikasi-atas-opini-transjogja/
tulisan lain mengenai buswae transjogja
gambar dicuri dari koleksi yan arief dan galeri transjogja.net
weh aku belum nyobain jeh
@ iorme
makanya.. ndang balik yk aja.. ntar nyoba buswae-nya dari tempel ke sanden š
jadi? mau ngantor pake buswae?
@ veta
halte-e wirobrajan kurang ngulon mas..
ngentos le moro ning halte
Aduh.. Jog-Djakarta… Jakarta yang di-jog (dituangi lagi) .. hihihi.. tambah macet… tambah usel2an.. tambah lama waktu tempuh perjalanannya…
@ aNdRa
he e.. jalanan jogja makin macet.. pendatang yang datang makin banyak.. tapi yang hengkang dari jogja makin dikit.. makin usel-uselan…
mbak andra pengin pindah jogja po? š
skarang bus transjogjanya dah sepi penumpang, jadi ga perlu desak-desakkan klau mau naik.
tapi aku belum pernah naik juga.
@ marsini
kondisi transjogja juda makin stabil kok.. š
mas coba jalur yg ke prambanan kemaren aku coba lumayan normal * semua penumpang bisa duduk š
@adzymaniac
ya ntar aku coba lagi kapan-kapan š
yaahh,,lumayaaann..
adem..
g’ sempit2an..
shelternya aman, anti copet dan anti panas..
yg blm coba, coba deehh..
trs nge-comment jg ya..
@ yatiya
yup.. jangan lupa.. nyumbang tulisan juga di transjogja.net yah.. š
dadi pengi nang jogja neh, nyoba buswae ne… tir, nek nyoba buswae meneh ati-ati, ojo nyopet!!!
@ Nurcholis
buruan ndang ke jogja lis.. š
Belum coba nih, dan pingin nyoba…
@Fikar
selamat mencoba.. š
“Sistem RFID dari kartu berlangganan yang terlihat masih belum beres.”
Wew….. proyek baru tuh mas… bisa ikut tender ga yah…. š
Btw,Blog-ku di link disini yo boz…..
@ Aston
sep ton.. url-mu dah tak masukkan ke blogroll š