Pagi ini situasi bener-bener santai, aku yang terbangun pun kembali berbaring, karena hari ini tidak ada acara yang harus kujalani pagi-pagi. Berbaring dengan sedikit rasa kantuk yang masih melekat, tanpa sadar pun, aku samar-samar kembali terlelap. Tak selang berapa lama, aku merasa badanku berguncang. Aku buka mataku, mencoa mencari tahu apa yang sedang terjadi. Guncangan yang terjadi pun makin keras, rumahku ku mulai mengeluarkan suara, suara yang berfrekuensi rendah yang cukup menggetarkan. Guncangan makin terasa keras, aku tersadar, gempa besar datang!
Aku segera berusaha bangun, menuju ke arah kusen, berlindung disana, bahkan saat aku merangkak ke kusen pun sempat kejatuhan rak buku kosong. Guncangan masih terasa keras. aku melihat ke jendela luar, terilhat kabel telepon diluar menari-menari laksana tali yang ringan. Aku bertakbir sekuat tenaga untuk membuang kepanikan. Goncangan bener-benar terasa sangat lama, aku sempat melihat bagaimana rumahku berderak menganggapi gerakan bumi yang bergetar sangat dahsyat.
Goncangan pun berhenti, aku menunggu sebentar, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aku lalu melihat kearah Merapi dari jendela, dan bertanya-tanya apakah ini ulah Merapi? tapi sejauh aku melihat tidak ada asap ataupun sesuatu yang menyala di puncak sana. Aku lalu mengirim SMS ke temenku, haye, yang di Lampung;
“Allahu Akbar! Yk diguncang gempa besar!”
Tidak lama setelah SMS terkirim, telepon rumahku berbunyi, aku lalu turun untuk menerima telepon, sekilas aku melihat tas-tas dan keranjang yang berjatuhan, dan dispenser yang jatuh. Ternyata Bapakku yang menelpon, bertanya bagaimana kondisi Jogja, karena Bapakku yang sedang berada di Ponorogo pun merasakan guncangan tersebut. Aku pun menjawab,
“Alhamdulillah pak, nggak ada apa-apa..”
Yah.. aku hanya kepikiran memberikan jawaban seperti itu, karena aku praktis belum keluar rumah. Tidak lama kemudian, temenku, haye, menjawab SMS-ku tadi
“HA! TENAN PO?!”
Wah.. SMS-nya tidak ada nada empati atau sebagainya, jadi aku letakkan saja HP-ku diatas kulkas, dan aku membantu Ibuku untuk merapikan rumah. Aku lalu mendirikan kembali dispenser yang semula jatuh, aku lihat ada air yang menalir.. ahh.. ternyata dispensernya agak bocor.. aku lalu berpikir untuk memperbaikinya nanti. Aku lalu ke garasi rumah, motorku bergerak tersandar ke mobil, aku pun segera membenarkannya sampai sandal jepit yang ku pakai pun terputus.
Aku lihat jam.. sekitar jam 06.15, wah.. perasaan masih berdebar-debar, aku coba tenangkan diriku dengan mencuci motor. Motor kucuci tidak lama, karena perasaanpun masih terasa tidak tenang, tapi syukur ketegangan sudah banyak berkurang. sekitar jam 06.30, aku selesai mencuci motor, dan keluar rumah untuk melihat keadaan. Yah.. diluar banyak tetangga yang masih panik, beberapa rumah tetangga tampak retak di beberapa bagian. Balai RT yang baru dibangun, aku lihat tembok bagian dalamnya runtuh, aku pikir.. yah.. wajar.. karena waktu itu membangunnya juga sedikit tidak niat, tapi secara keseluruhan, balai itu masih berdiri kokoh. Beberapa tetangga ada yang tembok-nya hampir ambruk.
Setelah melihat-lihat keadaan sekitar, aku pun kembali kerumah, agar perasaan bisa menjadi tenang, aku pun mengambil tool box untuk membongkar dispenser. Bongkar sana bongkar sini, walaupun bocornya tidak ketemu, tapi untunglah bocornya juga jadi tidak muncul. Pukul menunjukkan jam 06.50, aku dengar jalanan sudah mulai ramai, yah… wajarlah… kemungkinan warga sudah mulai kembali ke aktivitasnya, seperti berangkat sekolah dan berangkat ke kantor. Di Televisi, masih belum ada berita tentang gempa tadi. Aku pun lalu menghubungi kakakku yang di Serpong Tangerang, kalau-kalau sudah ada informasi tentang gempa ini. Oh ya.. sedari tadi aku coba menenangkan diri, ibuku juga menelpon sana sini, termasuk juga ke kakakku yang berada di Malang, dan bercerita bahwa disana juga terasa gunacangan gempa. Aku heran juga, wah.. ternyata getaran gempanya cukup terasa luas juga.
Tiba-tiba sekitar jam 07.00 listrik padam, ibuku yang dari tadi menghubungi sana-sini tiba-tiba mengeluh kalau teleponnya tiba-tiba tidak bisa dipakai. Aku cek pesawat teleponnya, normal-normal saja, aku cek nada sambungnya, sepertinya memang tidak ada sambungan dari telkom. Aku garuk-garuk kepala sendirian keheranan. Dari luar aku dengar kehebohan. Ibu-ku yang heran lalu memanggilku, mencari tahu diluar ada apa, kok tetangga berlarian kesana kemari. Aku lalu keluar dari rumah. Heran. Tetangga berlarian, dan menyiapkan kendaraannya masing masing.
“Tsunami!! Tsunami!! Tsunami!!”
Teriak anak tetangga yang lari dari arah jalan besar menuju kerumahnya sambil ngos-ngosan dengan mata nanar.
Aku tersentak kaget!
“Tsunami?! ah.. bagaimana mungkin?! Jogja ini kota yang tinggi, lagipula diselatan jogja ada bukit yang tinggi juga.. bagaimana mungkin?”
Antara heran, curiga, tidak percaya dan cari selamat, aku pun berlari memastikan diri ke arah jalan besar. Sembari aku berlari aku melihat tetangga sudah ada yang menyiapkan kendaraannya, menumpuk mobil-nya dengan berbagai macam barang. Ada tetangga yang panik cari tahu kemana arah mengungsi. Ada tetangga yang menangis karena tidak bisa menghubungi kemana-mana karena HP-nya tidak ada sinyal. Sesampainya di jalan besar. Jalanan penuh dengan kendaraan dan orang. Bunyi klakson, deru motor, dan tangisan bercampur menjadi satu. Semua kendaraan bergerak ke satu arah.
Aku tidak percaya. Apa benar Tsunami datang? Tiba-tiba aku mendengar suara klakson keras sekali dari belakang, ternyata tetangga-ku dengan panik dan sejadi-jadinya berusaha membaur, kabur dari rumahnya. Keyakinanku akhirnya goyah tatkala aku melihat beberapa keluarga sambil berjalan kaki setengah berlari, kakek dan cucunya, sambil menangis dengan basah kuyub. Tidak hanya satu orang, tidak hanya satu keluarga, tapi banyak. Keyakinanku goyah. Keyakinan akan Jogja yang aman dari Tsunami.
Aku lalu menjauh dari jalan besar. Mencoba mengulak-alik logika yang ada dan pengetahuanku sejauh ini. Tsunami. Aku langsung teringat pada kejadian gempa di Aceh 2004 silam. Tsunami yang datang menyeruak ke tengah kota pun, kira-kira sekitar satu jam dari gampa terjadi. Dan, kalaupun air laut sampai di perumahanku, aku yakin, pasti hanya sekitar mata kaki atau sedikit lebih tinggi. Tapi tetap saja, saat itu, aku merasa deru Tsunami telah mendekat.
Aku lihat ke ponsel-ku.
Network Search
Dang! Ponsel-ku pun jadi tidak ada sinyalnya. Aku pun berusaha tenang, kembali ke rumah dengan berjalan, agar punya banyak waktu untuk berpikir. Sesampainya dirumah, tetangga depan sudah siap berangkat, mereka berteriak-teriak meminta ibuku untuk turut mengungsi, bahkan mereka menawarkan dengan sedikit memaksa untuk mengajak ibuku turut serta. Ibuku yang bingung sendiri, dan melihat aku datang ke rumah segera bertanya kepadaku dengan panik. Kepanikan ibuku makin menjadi karena semua ponsel yang dimiliki ibuku tidak dapat digunakan. Ya.. sudah.. karena aku sendiri juga tidak paham apa yang sebenarnya terjadi, dan aku juga khawatir nanti ibuku bertambah panik jika melihat genangan air yang datang, akhirnya aku putuskan juga untuk mengungsi.
Awalnya ibuku ingin langsung berangkat, tapi aku cegah dengan meminta ibuku bersiap-siap dahulu, membawa bekal secukupnya. Aku ambil jaket dan poncoku, yah, beberapa ponco kubawa juga, kalau-kalau nanti diperlukan sebagai alas atau tempat bertenduh. Semua jendela aku tutup dan aku kunci, pintu-pintu pun turut aku kunci. Ibuku pun sepertinya sudah mulai kelihatan tenang karena melihatku tenang. Awalnya ibuku menyiapkan kunci mobil, tapi aku menolak, aku memilih memakai motor saja biar lebih mudah dalam pergerakannya.
Motor kukeluarkan, dan pintu-pintu depan pun aku kunci semuanya. Aku lihat sekeliling, perumahanmu tampak sepi, tetangga pun ada yang meninggalkan rumahnya dengan pintu yang masih sedikit terbuka. Yah.. mungkin mereka panik dan terburu-buru. Aku mulanya bingung juga, kalau mau mengungsi, tujuannya kemana. Akhirnya aku ingat akan D-Net. Disana tergolong lebih tinggi daripada perumahan tempatku, kalaupun air sampai sana juga, disana berupa gedung tingkat tiga. Yah.. insyaallah aman. Begitu pikirku. Waktu motorku begerak, dan mulai memasuki jalan besar, ibuku meminta untuk kami berhenti di masjid Ainun Jariyah saja. Masjid yang jaraknya satu kilometer dari rumah kami. Bagiku tidak masalah, toh asalkan itu bisa membuat ibuku tenang.
Jalan 1km yang kami tempuh pun rasanya cukup panjang, padatnya jalan, dan orang-orang yang berlarian bercampur jadi satu. Sesampainya di masjid pun, sudah banyak orang yang berlindung juga disana. Ibuku turun, dan aku pakirkan motorku menghadap utara. Beberapa orang berteriak padaku menyuruhku untuk terus, tapi aku tetap parkir di masjid ini dulu. Aku lihat ponselku, waktu menunjukkan pukul 07.40. Ada sinyal, tetapi terlalu kecil, tidak cukup untuk melakukan pemanggilan. Ibuku pun masih terus mencoba menghubungi keluarga, dan aku duduk diatas motor, bersiap akan hal-hal yang buruk. Makin banyak keluarga yang berkumpul di Masjid. Banyak diantara mereka yang mencoba menghubungi keluarga dan rekannya. Banyak diantara mereka yang coba mencari tahu sampai mana air laut dari Tsunami bergerak.
Kabar yang muncul simpang siur. Aku ikuti saja arah pembicaraan mereka. Ada yang berhasil menghubungi rekannya, dan kemudian kaget mendengar kabar bahwa air sudah dekat, sudah sampai daerah Sonopakis. Orang itu panik dan berteriak-teriak dan melanjutkan larinya. Lalu ada orang lain yang mengabarkan kalau air sudah mencapai daerah Kasongan. Lalu ada orang lain lagi yang mengabarkan kalau air sudah mencabai daerah pojok beteng wetan. Salah satu orang yang turut berkerumun lalu berseru
“Lho?! kok Bedo-bedo?! sing bener ki sing endi?!”
Yah.. mendengar tanggapan seperti itu, aku lalu tersenyum, aku tersadar, bahwa Tsunami ini hanyalah hoax, hanyalah isyu. Hoax yang entah disebarkan oleh siapa, dan sialnya lagi, aku termakan hoax itu.
Tidak lama kemudian, bumi kembali bergoncang. Gempa susulan datang. Orang-orang yang berada didalam Masjid berjeritan dan berdoa, banyak diantara mereka yang berseru memohon ampun kepada Allah. Setelah gempa susulan reda, aku pun turun dari motor, dan mengajak ibuku untuk pulang, karena Tsunami ini hanya hoax belaka. Aku ajak ibuku, tapi beliau menolak, ingin di masjid sedikit lebih lama. Aku lihat dijalanan, masih rame kendaraan dan orang berlarian. yah.. oke lah.. aku tunggu dulu.. sekalian menunggu jalanan mereda. Sekitar pukul 08.30, ibuku keluar dari masjid, dan bercerita tentang gampa dan lain sebagainya dari keluarga yang berhasil dihubungi, walaupun harus putus-sambung-putus-sambung. Aku lihat jalanan sudah mereda, orang yang berlarian pun sudah tidak tampak banyak. Aku pun mengajak ibuku untuk kembali kerumah.
Sesampainya di rumah, perumahan tampak sepi. Aku lalu coba berkeliling dengan ibuku menaiki motor, ternyata tidak semua tetangga mengungsi, masih ada beberapa yang bersikukuh tinggal dirumahnya. Sampai dirumah, pintu aku bukam aku masukkan motor kedalam garasi, dan ternyata listrik-nya masih belum nyala, aku cek telepon juga masih belum ada sambungan, hanya ponsel yang jaringannya overcrowded yang bisa memberikan sinyal. Malas dan bingung mau menghubungi siapa lagi, akhirnya aku hanya diam saja dirumah sambil menunggu listrik menyala.
Sekitar pukul 09.00 listrik menyala. Televisipun aku nyalalakan. Dan, kebetulan juga, acara yang langsung kudapat adalah berita tentang gempa Jogja ini. Melihat Berita itu aku benar-benar tersentak. Kaget. Ternyata dampak gempa tadi sangatlah dahsyat. Di televisi banyak terlihat rumah-rumah hancur, bahkan mencapai daerah prambanan dan klaten. Disela-sela berita pun, diberitakan akan isyu Tsunami dan gambar orang yang berlarian di daerah jalan Magelang. Sekali lagi aku kaget, ternyata dampak isyu Tsunami itu sampai ke jalan Magelang. Terbayang kembali olehku kengerian yang merangsek saat aku awal-awal mendengar adanya Tsunami.
Berbagai macam berita gempa mengisi layar kaca. Semua yang ditampilkan tentang tangis dan kehancuran. Aku takut, eneg dan bosan. Melihat semua itu hanya membuat pikiranku kembali kalut. Akhirnya acara aku pindah ke acara yang lain yang pokoknya tidak ada berita gempa. Aku lihat keluar, tetangga yang tadi mengungsi beberapa sudah kembali.
Beberapa gempa susulan pun terjadi. Asalkan gempa tidak bertambah besar, aku tidak berlari keluar. Hanya saja derak rumahku yang selalu membuat jatungku berdegup kencang. Aku tidak mengetahui sudah berapa lama waktu berlalu, aku hanya tahu Bapakku yang kembali dari Ponorogo sekitar jam 12.30. Bapakku pun segera kembali ke Jogja karena melihat di Televisi, gempa di jogja sangat menghancurkan. Yah.. seperti biasa, kami sekeluarga lalu saling berbagi peristiwa tadi pagi. Dari percakapan keluar itu juga, aku juga mendapat kabar kalau keluarga kami yang bertinggal di Piyungan, Bantul, daerahnya rusak parah. Kami sekeluarga pun memutuskan untuk menengok kesana pada sorenya.
Karena kepikiran juga dengan kondisi di dnet, aku pun memutuskan untuk pergi ke D-Net, disana D-Net tidak buka, aku hanya bertemu dengan Sigit. Kami pun saling bertukar kisah soal kejadian tadi pagi. Aku lihat di dnet tampak retak disana-sini. Untunglah bukan retak yang berbahaya. Aku cek jaringannya, alhamdulillah baik-baik saja, hanya saja tampaknya listrik dari BTS LC.net yang mengalami gangguan.
Setelah kira-kira cukup beristirahat, sorenya aku dan keluarga lalu berangkat ke Piyungan. Pada sore itu, didaerah Kusumanegara ternyata masih mengalami gangguan kelistrikan, dan juga daerah sana macet karena antrian kendaraan yang ingin mengisi bahan bakar. Sesampainya kendaraan memasuki wilayah jalan wonosari, tampak dikiri kanan bangunan yang hancur, reruntuhannyapun masih sukar dibersihkan dari bahu jalan. Aku hanya bisa terdiam, tidak mengira sama sekali gempa tadi pagi sebegini dahsyat. Sesampainya di rumah Saudaraku, aku lihat langit mendung mulai menggantung, mendung yang tidak umum, terlebih lagi karena hari-hari sebelumnya cuaca cukup cerah, dan mendung ini laksana agregasi dari duka di qalbu warga Jogja dan sekitarnya. Kami sekeluarga berbincang sejenak. Menyambangi tetangga-tetangga yang bahkan rumahnya pun tidak bisa ditinggali. Tapi syukurlah, tidak ada korban jiwa di wilayah saudaraku itu.
Menjelang maghrib, kami bertolak dari sana. Suasana tampak gelap, terlebih lagi di daerah tersebut, listrik masih belum mengalir. Kami sekeluarga mampir dahulu untuk sholat di masjid Diponegoro. Selesai sholat, kembali gempa susulan datang. Aku hanya geleng-geleng kepala, untuk menenangkan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang. Dalam perjalanan pulang, kami sekalian mencari warung untuk makan malam. Tapi naas, di sepanjang jalan yang kami lalui, tidak ada warung yang buka. Waktu pun merambat kian larut, aku berkeyakinan kalau ke daerah utara, Jalan Kaliurang misalnya, kemungkinan masih ada warung yang buka, tapi tetap saja tidak sejalan sengan arah kami pulang. Akhirnya dengan sangat terpaksa kami membeli martabak untuk pengganjal perut. Kami sampai dirumah sekitar pukul 21.30, waktu yang sebenarnya belum terlalu larut, tapi para tetangga sudah menempati halaman depan masing-masing rumahnya untuk beristirahat. Hal ini praktis menyebabkan kendaraan yang kami gunakan harus diparkir di mulut perumahan.
Sewaktu kami masuk rumah, beberapa tetangga menyarankan kami untuk tidur diluar. Bukannya kami bengal, tapi aku pribadi yakin bahwa rumah kami cukup kokoh. dan pada masa after-shock kebanyakan kekuatannya tidak sebesar bahkan tidak lebih besar dari gempa utamanya. Walaupun aku berani tidur didalam rumah, tapi aku sendiri merasa trauma untuk tidur di kamarku. Akhirnya aku memilih untuk tidur diruang tengah. Saat kami beristirahat beberapa kami gempa susulan terjadi. Yah.. karena kondisi yang masing tegang pun, kewaspadaan kami meningkat, sehingga respon kami terhadap gempa pun juga lebih sigap. Hingga pada suatu waktu, tiba-tiba pintu rumah kami digedor warga dengan pak lurah. Katanya, kendaraan kami yang diparkir di mulut perumahan menghalangi jalur evakuasi warga. Sebenarnya aku dalam kondisi mengantuk itu tidak mau memindahkan kendaraan karena dalam akal sehatku, yang kita hadapi ini adalah kondisi gempa dimana evakuasi, dalam hal ini ditekankan pak lurah untuk mengungsi, tidak begitu perlu dilakukan dengan segera. Yah.. mungkin model penangan bencananya dia adopsi dari penanganan bencana Merapi, yang beberapa hari sebelumnya memang dinyatakan aktif dan berbahaya. Karena aku tidak ingin beradu argumen dengan pak lurah, akhirnya aku turuti saja sebatas sama mana pak lurah merasa puas. Saat perjalanan ke tempat kendaraanku di parkir, sempat juga gempa susulan, warga yang aku lalui pun sempat terbangun, tapi aku tetap cuek saja dan segera memindahkan kendaraanku.
Dalam perjalanan aku pulang kerumah, terasa air menitik dari langit.. wah hujan pikirku.. ternyata benar.. hujan turun.. tapi untunglah tidak deras. Aku merasa kasihan dengan tetangga-tetanggaku yang kehujanan dan tidak berani masuk kerumahnya. Karena kelelahanpun, aku akhirnya kembali terlelap.
baca juga:
– Gempa Yogya 27 May 2006
– Daerah itu terlepas dari pengamatan
– Tidak ada tsunami di Jogja – Dengarkan Radio
– Antisipasi bencana Jogja ternyata sudah saya posting sendiri setahun lalu
– Jogja diguncang gempa
– Tanggapan terhadap isyu yang merebak pasca gempa
– Bencana ini jadi pelajaran penting bagi kita
– stwn’s log: May 2006
– Earthquake: Jogjakarta
– EarthQuake on Jogja
– Gempa Yogyakarta
– Gempa di Yogyakarta
– Gempa di Jogja
– Trauma pasca gempa
– Kondisi Warga FLP Yogyakarta Pasca Gempa
– Kawasan Rawan Tsunami DI Yogyakarta
– Mitos awan gempa !
– helpjogja.net
waduh…. semua blogger sedang refleksi ya… kecuali saya :d.. ngurusin pendadaran
@agung
tenang aja gung.. pendadaran kan juga bisa menjadi salah satu refleksi :p
pill propecia
news