Ugh! traffic di Jogja kian hari kian padat. Orang-orang dari kota lain pun juga banyak yang berdatangan. Para pengembang hunian pun mulai menyentuh daerah sub-urban, yang waktu saya kecil, daerah itu disebut town-pun juga masih belum.
Tanggal 18 Febuari 2006 s/d 24 Februari 2006 kemaren saya ke Serpong, Tangerang. Disana saya menyaksikan Bumi Serpong Damai (BSD). Sebuah kekaguman yang terlintas di benak saya, bukan sebuah keelokan atau kemewahan yang tertampil pada BSD ini. Tapi keberanian, dan konsep masa depan yang dimiliki oleh pemilik dari Bumi Serpong Damai. Begitu berani-nya hingga berani membuat sebuah kota mandiri. Begitu kuat konsep-nya, hingga pemekaran Jakarta pun menyebabkan seakan tak berjarak antara Jakarta Kota dan BSD ini.
Saya lalu berandai-andai, bagaimana jika konsep ini diterapkan di Kota Yogyakarta tercinta ini. Yogyakarta pun saat ini mulai berkembang. Daerah Jalan Kaliurang, saat ini pun sudah sedemikian berkembang. Mulai dari daerah UGM, hingga Kaiurang-nya. Tempat usaha sambung menyambung. Traffic pun tidak bisa dibilang sepi. Daerah Jalan Godean, saat ini pun, sampai ke daerah pasar godean, tempat usaha pun mulai sambung menyambung.
Kompleks Perumahan yang dibarengi dengan pusat perbelanjaan -Mall misalnya- tampak mulai diawali. Mall-nya makro, saya kurang begitu ingat wilayahnya, yang jelas ada di ujung timur dari ring-road utara. Saya sendiri belum pernah kesana, jadi tidak bisa melakukan “sight-learning”.
Jika kembali mengamati dari BSD, dan di analogikan dengan berdirinya Makro di jogja, ternyata yang jadi hal terpenting terwujudnya sebuah kota mandiri (saya sendiri iseng menyebutnya ‘kota swasta’ š ) ialah akses yang lancar dan mudah. Sehingga jarak yang jauh dapat terjangkau dalam waktu singkat. Bahkan pada BSD sendiri, mereka (pendiri BSD) bersedia “menarik” jalan tol sehingga penghuni kota mandiri dapat langsung masuk ke tol tanpa keluar dari “kota-nya” dan langsung menuju ke tujuannya, Jakarta.
Jalan yang lancar, bebas hambatan, mampu menampung beban lalu-lintas berat, menjadi nadi utama berkembangnya sebuah kota Mandiri. Disini, saya menyebutnya FreeWay (bisa juga disebut tol) karena pada umumnya warga Jogja suka yang murah dan mendekati gratis. Padahal FreeWay lebih dekat diartikan menjadi Jalan Bebas Hambatan :D. Dengan membangun FreeWay yang menyambung ke tiga kota diluar DIY, yaitu Purworejo, Magelang (Muntilan termasuk), dan Solo (Klaten termasuk) dan empat kora didalam DIY (Sleman Kota, Bantuk Kota, Wates Kota, dan Wonosari Kota) akan menjadi akselerasi perkembangan kota-kota di dalam DIY tersebut, terutama Yogyakarta sendiri.
Lokasi FreeWay ini juga akan mengatasi kendala kondisi terrain (permukaan tanah) di sisi barat dan timur DIY. FreeWay yang mampu menembus pegunungan, akan memperlancar perjalanan dari sisi barat dan timur DIY. Dengan munculnya FreeWay ini, kendaraan yang masuk ke Yogyakarta akan semakin banyak, dan tentunya kebutuhan untuk pengembangan kota akan semakin besar.
Yang jadi persoalan yaitu FreeWay yang didalam kota ini. Yogyakarta jelas belum sebesar Jakarta, jika sebagian besar tanahnya dipakai untuk membangun FreeWay, maka perkembangan Yogyakarta akan jelas menjadi terganggu. Banyak rumah dan tempat usaha yang akan tersingkir, banyak jalan yang di tutup dan dibongkar hanya untuk tempat FreeWay ini. Ada dua Solusi sebenarnya, Pertama yaitu dengan membangun HighWay (HighWay yang saya maksud disini adalah ‘Jalan Layang’, terjemahan langsung dari HighWay, Jalan Tinggi). HighWay atau jalan layang dapat “sedikit” menghemat tempat, karena lokasi dibawahnya masih mampu dimanfaatkan. Tetapi resiko-nya, dalam proses pembangunanannya, akan membutuhkan space banyak untuk membangun tiang-tiangnya. Yang kedua, yaitu dengan membangun SubWay. Oit! bukan SubWay kereta bawah tanah seperti di New York ataupun yang akan direncanakan di Jakarta, tetapi SubWay yang berupa terowongan bawah tanah (atau disebut UnderWay/UnderPass saja biar tidak rancu dengan SubWay?). Pembangunan terowongan saat ini dapat dilakukan tanpa perlu membongkar atasnya. Untuk masa pekerjaannya, jelas tidak begitu mengganggu kota di atasnya, yah.. mungkin hanya pembangung on-ramp untuk turun-naik ke SubWay saja. Resiko dari pembangunan SubWay ini yaitu perlu biaya besar dalam membangunnya. JIka ingin kokoh, pengerjaan perlu dua kali, dan lokasi terowongan harus cukup dalam, agar ada cukup tanah untuk menopang kota diatas, dan terowongan tidak lekas runtuh. Resiko yang lain, yaitu penanganan terhadap kecelakaan lalu lintas. JIka kasus kecelakaan seperti pada filmya Sylvester Stallone, Daylight, perhatian penanganan kecelakaan lalu lintas di terowongan ini perlu perhatian khusus. Dengan dibangunnya freeway dalam kota, maka akses untuk daerah Jogja Timur dengan Jogja Barat dapat lebih mudah, begitu juga untuk Jogja Utara dengan Jogja Selatan.
Jika FreeWay telah tersedia, maka pendirian kota mandiri pun dapat lebih mudah terealisasi. Banyak orang yang bekerja di Solo atau di Magelang yang tinggal di Yogyakarta. Mereka memilih me-nglaju karena lingkungan hidup di Yogyakarta lebih nyaman, dan semua mudah dijangkau. Bahkan tidak sedikit pula penduduk Kulon Progo yang bekerja di Yogyakarta bahkan di Klaten atau Solo. Berdirinya FreeWay ini akan meningkatkan mobilisasi mereka.
Yah.. tentunya dengan semakin maju-nya kota-kota di DIY juga akan menambah besar juga noise yang ada. Hal yang terkadang menjadi duri dalam daging yang sukar dihilangkan, tapi harus bersama-sama ditekan agar noise ini tidak mengganggu secara signifikan.
warning: Asbun-Material
I found the traffic in Jogja a little excessive for my small-town sensibilities… Way too many motorcycles!
Nevertheless, I enjoyed my visit there. I will never forget my companion’s expression when the ayam (gudeg? i forget the name) arrived with the head still attached. I thought it was delicious, though š